Laman

Jumat, 30 September 2011

Ironi Sastra Bugis yang Telah Terkikis

          Pernah dengar nggak tentang sebuah hikayat yang bernama Hikayat La Galigo??? 

         Hikayat La Galigo merupakan sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno yang ditulis dalamhuruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan menceritakan tentang awal mula kerajaan bumi, Kisah Dewa-Dewi yang berasal dari kerajaan langit dan kerajaan bawah air, kisah percintaan abadi, serta semua kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Bugis klasik.


          Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis yang penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, dan membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.


         Isi dari epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dantempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. 

           Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan merekamenggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

         La Galigo bukanlah naskah sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat. Dalam pentas seni ini Bissu Puang Matoa Saidi turut berpartisipasi dan mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.

         La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Penata suara adalah Rahayu Supanggah. Bissu Puang Matoa Saidi turut berpartisipasi dalam produksi ini

sumber : 
http://www.telukbone.org
forum.vivanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar